Israel Usulkan Peta – Istilah Timur Tengah baru baru-baru ini dipopulerkan oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Dalam sebuah forum internasional, Netanyahu menampilkan dua peta yang menggambarkan Israel dan kawasan sekitarnya. Yang mengejutkan, dalam peta tersebut tidak terdapat nama maupun wilayah Palestina sama sekali.
Usulan ini tentu memicu perdebatan dan kontroversi di berbagai kalangan internasional, mengingat absennya Palestina dalam peta tersebut menyiratkan pesan politik yang kuat mengenai pandangan Israel terhadap wilayah tersebut.
Upaya Israel Mengubah Tatanan Regional: Bukan Hal Baru
Upaya Israel untuk mengubah tatanan kekuasaan regional dan merestrukturisasi peta politik di kawasan Timur Tengah sebenarnya bukanlah hal yang baru. Selama beberapa dekade, Israel secara konsisten mencoba memperkuat pengaruhnya di wilayah ini, baik melalui diplomasi, aliansi strategis, maupun aksi militer. Usulan peta baru yang diajukan oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu adalah bagian dari strategi yang lebih luas untuk menegaskan kontrol dan merancang ulang peta politik di kawasan ini.
Langkah-langkah semacam ini mencerminkan ambisi Israel untuk mengubah dinamika kekuasaan di Timur Tengah sesuai dengan kepentingan nasionalnya, yang sering kali berbenturan dengan kepentingan negara-negara tetangga dan komunitas internasional.
Dinamika Baru Pasca Serangan dan Respons Israel: Realitas yang Semakin Terbuka
Meskipun upaya Israel untuk mengubah peta politik regional telah berlangsung lama, dinamika kawasan yang semakin kompleks belakangan ini membuat tujuan tersebut terasa lebih realistis. Eskalasi konflik pasca serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 dan respons keras Israel terhadap Gaza selama 12 bulan terakhir telah memperkuat keyakinan di kalangan banyak pihak di Israel bahwa tujuan untuk merestrukturisasi kawasan kini lebih mungkin tercapai.
Dengan ketegangan dan konflik yang terus meningkat, beberapa pihak di Israel melihat momentum ini sebagai peluang untuk memperkuat posisi negara tersebut di kancah politik regional.
Peta Kontroversial Israel di Sidang Umum PBB
Dalam pidatonya baru-baru ini di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menampilkan peta kontroversial yang memicu perdebatan luas. Peta pertama yang ditampilkan menunjukkan wilayah-wilayah berwarna hijau, yang mewakili negara-negara yang telah memiliki perjanjian damai dengan Israel atau sedang dalam negosiasi untuk menormalisasi hubungan dengan negara tersebut.
Penggambaran ini menggarisbawahi langkah-langkah diplomatik Israel untuk memperluas jangkauan dan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah melalui normalisasi hubungan, meskipun banyak pihak menilai bahwa absennya Palestina dari peta ini menyiratkan pesan politik yang provokatif.
Peta “Karunia” dan “Kutukan” yang Ditampilkan Netanyahu
Dalam pidatonya di Sidang Umum PBB, Benjamin Netanyahu memperkenalkan dua peta yang ia sebut sebagai “karunia” dan “kutukan.” Peta yang dinamai “karunia” menunjukkan negara-negara yang telah menjalin hubungan damai atau sedang dalam proses normalisasi dengan Israel, termasuk Mesir, Sudan, Uni Emirat Arab (UEA), Arab Saudi, Bahrain, dan Yordania. Wilayah-wilayah ini ditandai dengan warna hijau, melambangkan hubungan positif dengan Israel.
Sementara itu, peta kedua menampilkan wilayah yang diwarnai hitam, yang oleh Netanyahu disebut sebagai wilayah “kutukan”. Peta ini diyakini merepresentasikan negara atau kelompok yang masih bermusuhan dengan Israel, menyoroti perpecahan tajam di kawasan Timur Tengah.
Netanyahu dan Peta “Kutukan”: Ambisi Israel atau Ancaman Baru?
Saat berbicara di Sidang Umum PBB di New York pada 27 September 2024, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menunjukkan peta wilayah yang ia sebut sebagai “kutukan”, menandai negara-negara dan wilayah yang dianggap masih bermusuhan dengan Israel. Peta ini telah memicu respons keras dari sejumlah pemimpin dunia, termasuk Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, yang memperingatkan tentang apa yang ia sebut sebagai “ambisi penuh kebencian Israel.”
Erdogan menuding bahwa Israel memiliki ambisi teritorial yang lebih besar, termasuk mengincar wilayah antara Tigris dan Efrat, dan tidak akan puas hanya dengan Gaza. Hal ini dianggap sebagai peringatan bagi dunia internasional tentang potensi ancaman yang lebih luas dari kebijakan Israel.
Namun, beberapa pakar seperti Yezid Sayigh, peneliti senior dari Carnegie Middle East Center, meragukan bahwa ambisi Netanyahu ini merupakan indikasi dari agenda langsung. Sayigh menilai bahwa “Timur Tengah baru” yang diupayakan Netanyahu lebih berfokus pada menjajah sisa wilayah Palestina, terutama melalui proyek permukiman yang semakin agresif di Tepi Barat. Pemerintah Israel, yang kini didominasi sayap kanan, secara terang-terangan menolak solusi dua negara, menjauhkan kawasan dari harapan perdamaian sejak Perjanjian Oslo pada 1993.
Israel telah secara terbuka menyatakan niatnya untuk meningkatkan jumlah permukiman di Tepi Barat, meskipun mendapat kecaman dari Arab dan komunitas internasional. Perluasan ini semakin memperkuat pandangan bahwa ambisi Israel melampaui batas wilayah saat ini dan mengancam stabilitas di kawasan.
Peta “Berkah” dan “Kutukan” Netanyahu dan Reaksi Internasional
Dalam pidatonya di Sidang Umum PBB di New York pada 27 September 2024, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menunjukkan dua peta Timur Tengah yang ia namai “berkah” dan “kutukan”. Peta “berkah” menampilkan negara-negara yang menjalin hubungan baik dengan Israel, sementara peta “kutukan” memperlihatkan wilayah yang dianggap masih menjadi ancaman.
Namun, menurut David Schenker, peneliti senior di Washington Institute for Near East Policy dan mantan asisten menteri luar negeri AS untuk urusan Timur Dekat, Amerika Serikat tidak mungkin menyetujui peta yang ditampilkan Netanyahu karena tidak mencakup wilayah Palestina. Schenker juga menambahkan bahwa pandangan Israel tentang “Timur Tengah baru” mencerminkan ambisi untuk membangun kawasan yang bebas dari ancaman Iran.
Dalam wawancaranya dengan BBC, Miri Eisen, pakar keamanan dan pensiunan perwira intelijen Israel, menyatakan bahwa Israel tidak berusaha memaksakan Timur Tengah baru, tetapi berfokus pada menghentikan pengaruh rezim mullah di Iran. Menurut Eisen, pidato Netanyahu bertujuan untuk mengakhiri program nuklir Iran dan memulihkan citra internasional Israel setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang menimbulkan dampak buruk secara global bagi Netanyahu.
Ketegangan geopolitik semakin memanas, terutama setelah pembunuhan pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah, menyusul serangan besar-besaran Israel yang menargetkan jantung pinggiran selatan Beirut. Serangan ini dipandang sebagai titik balik dalam eskalasi konflik antara Israel dan kekuatan-kekuatan yang dianggap sebagai ancaman di Timur Tengah.
Iran Tembakkan Rudal ke Israel, Ketegangan Meningkat di Timur Tengah
Pada 1 Oktober, ketegangan di Timur Tengah semakin memanas setelah Iran meluncurkan rudal balistik ke arah Israel. Aksi ini dilakukan sebagai respons atas pembunuhan kepala politik Hamas, Ismail Haniyeh, yang terjadi di wilayah Iran. Insiden ini memicu kemarahan di Iran, yang terlihat dari aksi pembakaran bendera Israel oleh warga setempat sebagai bentuk perayaan setelah serangan rudal tersebut.
Di sisi lain, Israel berjanji untuk menanggapi serangan Iran pada waktu yang dipilihnya sendiri, meningkatkan ketegangan di kawasan tersebut.
Amerika Serikat (AS) terus memberikan dukungan strategis yang signifikan kepada Israel untuk memastikan keunggulannya, dengan meningkatkan kehadiran militer di kawasan menyusul meningkatnya ketegangan. Namun, dukungan ini datang dengan peringatan dari Washington agar Israel tidak melanggar batas merah yang ditetapkan AS, terutama terkait target pada proyek nuklir Iran dan solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina.
Miri Eisen, pakar keamanan Israel, menyebut bahwa tindakan militer Israel terutama berfokus pada menghadang ekspor senjata dan ideologi Iran ke proksi-proksinya di kawasan yang mengancam Israel. Sementara itu, David Schenker, peneliti senior dari Washington Institute, menyatakan bahwa meskipun Israel mungkin berhasil melemahkan proksi Iran, ia meragukan Israel dapat menciptakan tatanan baru di Timur Tengah tanpa dukungan kuat dari negara-negara Arab.
Baca juga berita teknologi terupdate